W H Y ?
Aku diam termenung. Terduduk di kursi
taman. Angin berhembus lembut membuat rambut panjangku berkibar. Matahari
seperti tak ingin beranjak dari tempatnya. Terik matahari menerpa wajahku. Aku
sendiri dalam sepi.
Pohon rindang di sampingku menghalangi
terpaan sinar matahari itu. Pohon itu terlihat kokoh dengan dahannya yang
berwarna coklat kemerahmerahan. Daunnya hijau segar. Tapi entah mengapa, tidak
ada buah yang tinggal di pohon rindang itu.
Aku masih asik menggoyang-goyangkan
kakiku. Hari ini udara cukup panas. Hanya saja, angin seperti tengah berlomba.
Semakin lama semakin kencang.
Terlihat setangkai bunga berwarna
ungu di bawah pohon rindang. Bunga itu berwarna ungu muda, dengan tangkai yang
lumayan panjang berwarna hijau pucat. Aku beranjak dari tempatku. Bunga ini
harum. Tanpa pikir panjang, aku segera memetik bunga cantik ini.
Bunga ini masih dalam genggaman
eratku. Wanginya sangat mencolok. Berbeda dengan warnanya yang berwarna pucat.
Lama-kelamaan wanginya membuatku pusing, mual. Aku juga mulai sesak napas.
Padahal sebelumnya aku tidak pernah punya riwayat penyakit Asma. Aku terjatuh
dalam keadaan menggenggam bunga ini. Bunga beracun.
***
Mataku masih terpejam. Tangan dan
kakiku susah untuk digerakkan. Rasanya lemas. Tak ada tenaga yang tersisa.
Aku berusaha membuka mata dengan
sisa tenaga yang ada. Cahaya lampu tepat di atasku. Menyilaukan mata. Terlihat
seorang dokter berdiri di sampingku.
“Syukurlah kau sudah sadar..” Ucap
dokter tersebut. “Kau sedang berada dirumah sakit, tadi seorang temanmu
mengantarkanmu kesini. Katanya kau tergeletak pingsan di taman.” Ucap dokter
menjelaskan.
Aku menatap heran sekelilingku.
Kapan aku pingsan? Atau jangan-jangan sebab bunga yang kupetik tadi? Entahlah.
Aku lebih heran terhadap orang yang mengantarku kesini. Teman? Sejak kapan aku
punya teman? Bukankah orang yang kukenal selalu memandangku sebelah mata dan
menjauhiku? Pertanyaan ini masih ‘tersangkut’ di otakku.
“Silahkan masuk.. pasien sudah
sadar,” Ucap dokter yang bernama Keyla tersebut sembari membukakan pintu
ruangan. Seorang wanita tinggi dan berparas cantik masuk kedalam ruangan.
“Lisa, kau sudah sadar?” Tanya
wanita tersebut. Aku masih menatapnya heran. Aku seperti mengenal orang ini.
“Kau.. Jenny? Teman SD ku, kan?”
Tanyaku ragu-ragu. Aku masih belum sepenuhnya yakin bahwa ia adalah Jenny,
teman SD ku.
Dia mengangguk, “Untunglah kau masih
mengenalku. Jadi aku tidak perlu lagi memperkenalkan diri dan berusaha
membuatmu ingat akan kenangan SD kita..” Dia berkata lembut.
“Oh, ya. Kebetulan tadi aku
melihatmu tengah duduk diam ditaman sembari memegang setangkai bunga. Tapi kau
langsung jatuh dan pingsan sebelum kusempat menemuimu,” Ucap Jenny. “Ini
bunganya kubawa, tadi kusimpan didalam tas-ku.” Ucap Jenny sembari menyerahkan
bunga beracun tersebut.
“Jangan hirup baunya! Bunga ini
beracun!” Teriakku sembari melempar bunga ini jauh-jauh. “Aku pingsan gara-gara
menyium bau bunga ini,”
“Ah.. untung saja kau sempat
mengingatkanku, kalau tidak, aku akan bernasib sama sepertimu.” Ucap Jenny
sambil menghela napas panjang. Aku tersenyum tipis.
“Omong-omong, bagaimana keadaanmu
sekarang?” Tanya Jenny.
“Entahlah. Tapi aku baik-baik saja.
Hanya saja, kaki kananku terasa sangat sakit. Mungkin terkilir,” Jawabku. Aku
tidak begitu peduli akan kesehatanku, ya begitulah.
“Kata dokter, kau boleh pulang malam
ini. Bagaimana kalau besok aku akan mengantarmu ke tukang urut langgananku? Dia
sangat ahli akan hal seperti ini.” Tawar Jenny.
Aku mengangguk pelan, “Terserahmu,
selagi aku masih dibayarkan pengobatannya olehmu.” Ucapku. Jenny tertawa pelan.
Tangannya menutupi mulutnya.
“Tenang saja, bukankah saat kecil
kau selalu mentraktirku?” Ucap Jenny sambil mengingatkanku akan masa kecil,
tepatnya saat kami berdua masih SD. Aku tertawa pelan, mengingat Jenny yang
menangis karena uang saku nya terkena kotoran burung.
“Oh ya, omong-omong orang tuamu
tidak menjenguk? Apakah kau belum menghubunginya?” Tanya Jenny. DEG! Aku harus
bilang apa? Sebenarnya orang tuaku sudah lama meninggal.
“..hem, Jenny.. aku sudah tidak
punya orang tua lagi,”
Jenny menutup mulut dengan kedua
tangannya yang menyilang. Dia mundur selangkah. Alisnya terangkat. Seakan
menggambarkan dirinya yang kaget.
“Sungguh? Kalau begitu maafkan
aku..” Aku mengangguk pelan. Kejadian itu sudah cukup lama, jadi kita tak perlu
untuk membahasnya lagi, kan?
“Ya sudah, ayo kita pulang. Kau
boleh menginap dirumahku beberapa hari,” Tawar Jenny.
“Apakah orang tuamu mengizinkan?”
Tanyaku.
“Lisa, aku tinggal sendiri. Aku
sudah punya rumah sendiri. Lalu, untuk apa aku izin kepada orang tuaku,”
Baiklah. Aku akan menginap dirumahmu
untuk beberapa saat.
***
Cahaya menerpa wajahku melalui celah
jendela. Burung berkicau berirama. Ayam jantan mulai mengeluarkan suara khas
mereka. Gemericik air kolam mulai terdengar.
Mataku sayup. Badanku terlalu malas
untuk bergerak. Huh, baiklah aku harus segera bangun. Kata Jenny, perjalanan
menuju tukang urut lumayan jauh. Jadi kami harus bersiap sebelum jam 07.00
pagi.
“Kau sudah bangun? Kalau begitu ayo
sarapan. Aku sudah siapkan roti berlapis selai juga secangkir susu sapi segar.
Kuharap kau menyukainya,”
Aku mengangguk pelan, lalu menarik
kursi dan duduk. Aku berasa jadi orang kaya disini. Biasanya aku hanya tinggal
dirumah petak. Itu pun tagihannya belum kubayar.
“Hmm.. ini enak sekali, aku serius!”
Ucapku sembari mengacungkan jempol. Aku tidak main-main mengenai hal yang
barusan aku ucapkan.
“Mm.. terima kasih,” Jenny tersipu
malu. Ah, entahlah, aku tidak peduli.
***
“Berapa lama lagi kita akan sampai?”
Tanyaku sembari melirik jam digital di mobil milik Jenny. Jenny melihat
jalanan.
“Mungkin sekitar lima menit lagi.
Aku harap kau bisa sabar,” Jawab Jenny sambil melirik jam tangannya yang
berwarna merah maroon, elegant.
“Uh.. baiklah,” Aku menghela napas.
Berusaha menahan sakit kakiku ini. Ini benar-benar sakit, lebih sakit dari yang
kalian bayangkan.
Selama ini perjalan baik-baik saja.
Perjalanan kali ini tidak ada hambatan. Suasana ramai lancar. Kami terus
bercanda selama perjalanan. Tapi entah apa yang membuat hal ini terjadi.
Truk dari arah belakang dengan
berkecepatan tinggi menabrak mobil Jenny. Mobil Jenny terpental hingga menabrak
pembatas jalan. Sekejap, tempat kejadian menjadi ramai. Jalanan menjadi macet
total. Banyak suara sirine ambulance dan mobil polisi disekitar kami.
Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Jenny disampingku terlihat
mengenaskan. Darah mengalir dari dahi nya. Aku hampir tak percaya akan semua
ini. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya.
Aku memeluk Jenny. Tak terdengar lagi suara detak jantungnya.
Napasnya juga sepertinya berhenti. Aku menangis. Aku masih memeluk erat Jenny
yang sudah tergeletak tanpa nyawa. Kakiku susah digerakkan. Tapi aku tak
memikirkan hal itu. Aku masih tertunduk dihadapan Jenny.
Mengapa semuanya begitu cepat? Padahal, 2 menit yang lalu kami
masih bercanda. Tapi mengapa semua ini berjalan begitu cepat? Tidak bisa kah,
ditunda beberapa bulan saja, atau juga boleh setahun?
Tapi ya sudahlah. Takdir tetaplah takdir. Sebahagia apapun itu,
sesedih apapun itu, itu tetap takdir. Yakinlah, kau bisa menghadapinya dengan
lapang dada. Percayalah padaku, tuhan tidak mungkin mengambil tanpa mengganti
dengan yang lebih baik. Percayalah, kau akan bisa menghadapi semua ini.
***
Hujan telah membuat pakaianku basah.
Aku masih berdiri di depan sebuah makam. Terpaku. Dialah yang membuatku
bahagia. Walau hanya sejenak, tapi itu sangat berharga. Kenangan ini tak akan
pernah lapuk di otakku. Kenangan indah yang berakhir sedih. Kalian bisa
membayangkannya, tapi itu tidak sesakit yang kurasakan.
Tiga orang yang kusayangi telah
pergi. Ayah, ibu dan Jenny. Ayahku yang disiplin, teratur, dan bijaksana yang
meninggal karena serangan jantung. Ibu yang penuh kasih sayang, penuh cinta,
meninggal ketika sholat. Dan Jenny, teman baikku, yang akan baik kepada
siapapun, dimanapun, kapanpun, dan meninggal karena kecelakaan tragis di
sampingku.
Aku tertunduk. Menangis
sekencang-kencangnya. Mengapa semua kejadian ini terjadi kepadaku, tuhan? Gadis
yang belum genap 19 tahun ini apakah harus menerima cobaan sebesar ini? Seberat
ini?
Belum lagi mengenai kakiku yang
lumpuh karena kecelakaan kemarin. Dan harus operasi 2 minggu lagi. Darimana
uangnya, tuhan? Tuhan!!! Aku ingin mencurahkan semuanya kepadamu! Hanya
kepadamu, tuhan! Tuhan.. aku tak sanggup lagi menerimanya. Cukup disini,
sandiwara penuh sesak ini.
***
“Dokter, sekitar dua minggu lagi
saya harus operasi. Apakah bisa diundur dulu? Saya harus mengumpulkan uang
untuk biaya pengobatan..”
“Oh, tidak perlu. Biaya pengobatanmu
telah lunas oleh penggalangan dana warganet. Jadi, kamu hanya perlu siapkan
mental untuk jalani operasi..”
“Oh, yang benar, dok? Terima
kasih..”
Betul kata orang-orang. Tuhan pasti
sayang terhadap hambanya. Tuhan telah menolongku dalam keadaan seperti ini.
Terima kasih tuhan, kau adalah segalanya.
***
“Kau sudah siap?” Tanya seorang
suster. Aku mengangguk pelan. Terus berharap agar operasi berjalan lancar dan
sesuai dengan harapan.
Jarum bius sudah mendarat di bagian
betisku. Rasanya nyeri sekali. Tidak bisa dijelaskan dan tidak bisa
dibayangkan.
Huh, baiklah. Aku harus tetap terus
berdoa sepanjang operasi. Aku harus terus menahan rasa sakit. Walau tidak ada
yang mendampingiku---karena kejadian kecelakaan yang membuat Jenny meninggal---aku
yakin, tuhan selalu ada disampingku.
***
“Tidak ada jalan keluar yang lain,”
Ucap dokter kepadaku.
“Memang kenapa, dok?” Tanyaku heran.
Hatiku terus-menerus berdebar. Tanganku gemetar. Aku mulai mengeluarkan
keringat dingin.
“Kaki kamu.. Lumpuh permanent..
maafkan, dokter hanya bisa berusaha.. yang menetukan hanyalah tuhan semata..”
Ucap dokter.
“Semoga kamu bisa menerima semua
ini.. Ya, saya tau ini sangat susah bagi gadis seusia kamu.. Tapi harapan masih
menunggumu.. berusahalah, biar tuhan yang menentukan,”
Aku menghela napas sangat panjang.
Baiklah. Aku tetap berusaha untuk menerimanya. Tapi ini sangat sulit. Aku
berasa hendak menangis. Ya, setetes air mulai menetes dari mataku. Disusul yang
lainnya.
Lagi-lagi aku tidak beruntung. Ya,
mungkin aku ditakdirkan hidup untuk tidak beruntung. Mungkin saja.
***
Aku terus membuat roda berjalan
menggunakan kedua tanganku. Walau ini cukup membuat tenagaku terkuras banyak.
Aku tak menyadari ada jalan turun
dihadapanku. Tatapanku masih tertuju pada kucing yang tengah lewat dihadapanku.
Dan, tanpa kusadari, aku telah berada di jalan turun dengan kecepatan tinggi.
Hatiku berdebar kencang. Jantungku
berdetak cepat. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tanganku tidak terlalu kuat
untuk menahan roda kursi ini. Aku menghela napas panjang. Baiklah, aku akan
siap apapun yang terjadi padaku. Aku pasrah terhadapmu, tuhan.
Dan, GUBRAKK!! Aku terpental 20
meter dari dari kursi roda. Cukup untuk membuat badanku remuk. Rasanya sakit
sekali. Kepalaku terbentur aspal. Pengelihatanku mulai buram. Kepalaku terasa sangat
nyeri. Badanku remuk, tidak bisa bergerak.
***
Aku menatap sekitar. Ruangan kosong.
Hanya ada peralatan medis tertata rapi dimeja, juga lemari. Aku tahu, aku
berada dirumah sakit. Diruangan yang berbeda.
Kalau boleh jujur, ini ruangan yang
cukup menakutkan. Banyak benda tajam dan berbahaya. Tapi aku tak terlalu
memikirkan hal itu. Aku masih fokus, sekarang aku mengalami kejadian apalagi.
Dokter yang tak asing lagi, dokter
Keyla memasuki ruangan bersama para suster sambil menyiapkan alat medis.
“Bisa kau pejamkan mata sesaat
saja?” Tanpa banyak bicara aku segera memejamkan mata.
Sebuah suntikan mendarat di betisku.
Rasanya nyeri sekali. Sepertinya ini adalah bius, agar saat operasi tidak
terasa. Dan, benar saja. Sesaat kemudian aku langsung tak sadarkan diri.
***
“OPERASI BERHASIL!! SESUAI HARAPAN
KITA!!” Sorak para suster, juga dokter Keyla.
Pengelihatanku samar. Aku merasakan
pusing yang berlebihan. Aku serasa ingin muntah, mual. Aku melihat infus
menancap ditanganku.
Refleks, aku terjatuh dan tak
sadarkan diri. Semua gelap. Tapi, apa itu? Dua sosok orang yang sangat aku
kenali. AYAH? IBU? Dan, siapa yang tengah berlari itu? JENNY? Ah.. mengapa
mereka bertiga bisa ada disini??
“Kami menunggumu nak.. Cepatlah
datang kesini. Kami semua merindukanmu..” Suara ibu terdengar serak
“Aku juga rindu
kalian semua! Tapi, aku harus datang kemana? Kalian tengah berada dimana?”
Tanyaku bingung.
“Kau akan tahu
nanti.. Bersabarlah atas cobaan yang menimpamu nak.. Ayah, Ibu akan selalu
mencintaimu..” Ayah menyemangatiku. Aku tersenyum haru.
“Dan aku, Jenny.
Menyayangimu sepenuh hati. Kuharap, kau cepat datang ketempat ini..” Jenny juga
ikut menyuarakan isi hatinya. Raut wajahnya terukir sedih.
Semua hilang. Mereka
lenyap ditelan cahaya hitam. Dan kini, aku hanya melihat sinar putih sangat
terang dihadapanku.
“Aku dimana? Dimana Ayah? Ibu?
Ataupun Jenny? Kemana mereka semua??” Aku berteriak histeris.
Tubuhku mendadak lemas. Tubuhku yang
semula meronta-ronta mendadak terdiam.
Napasku mulai
tersengal-sengal---seperti telah berlari lapangan 5 putaran--- Mataku mendadak
rabun, samar-samar. Aku tak bisa mengeluarkan suara apapun selain teriak.
Suster berdatangan keruanganku
dirawat. Mereka heran melihat keadaanku saat ini. Beberapa orang segera
memanggil suster yang lainnya.
“Kenapa ini? Apakah harus dibius?”
Tanya seorang suster dengan nada panik. Suster lain menggeleng tegas.
“Dia sudah terlalu banyak dibius!
Mana mungkin kita bius lagi!” Jawab suster lainnya sembari menggeleng tegas.
“Lalu harus bagaimana? Keadaannya
sangat kritis..”
Aku tak mendengar percakapan mereka
lagi. Mereka seperti musnah ditelan bumi.
Pengelihatanku buram. Hitam! Aku tak
dapat melihat apa-apa lagi. Aku tak bisa mendengar lagi. Mulutku terkunci.
Semua bisu. Seakan, takut melihat malaikat maut.
JLEP!!! Jantungku tak berdetak.
Napasku berhenti. Mataku terkunci. Ruangan menjadi lenggang.
Aku bisa melihat mereka lagi. Ayah,
Ibu, dan Jenny.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberi saran dan juga kritik ya..
BalasHapus